yyyyy
Cerita Baridin meupakan cerita yang
sudah melekat pada masyarakat Cirebon yang di dokumentasikan lewat tarling
putra sangkala yang dipimpin oleh sang maestro dan legenda tarling yaitu Bapak
H. Abdul Ajid. Dan ini merupakan cerita atau Legenda Baridin merupakan cerminan
dari keegoisan manusia yang mengakibatkan sakit hati yang perih. Cerita yang
mengharu biru ini berakhir dengan kematian Baridin sebagai pelaku yang mengemat
(Memelet), dan Suratminah atau Ratminah yang dikemat (dipelet). Baridin
dikisahkan menjadi seorang jejaka yang terlewat usia karena selalu menunda masa
lajangnya. Ia menyadari usianya memang sudah bukan remaja lagi. Namun kondisi
perekonomian yang dialami semenjak ayahnya meninggal,tak kujung selesai.
Baridin lebih memilih membantu ibunya, Mbok Wangsih, menjadi buruh tani. Namun
mereka selalu bersyukur dengan kondisi yang diberikan oleh Allah tersebut.
Hidup berdua dengan seorang ibu yang memilih jadi janda untuk membesarkan anak
semata wayangnya Baridin. Mbok Wangsih hanya ditinggali rumah gubuk yang
sederhana. Di pinggiran sungai dengan beberapa pohon pisang. Selain beburuh
tandur (buruh tani) Mbok Wangsih mendidik Baridin untuk bisa membantu hidupnya.
Jadilah Baridin tukang mluku (pembajak sawah). Modal kesehariannya adalah
weluku (Alat bajak) peninggalan bapaknya. Adapun kerbau untuk menarik bajaknya
ia pinjam dari orang lain. Sampai pada suatu hari Mang Bun (Bunawas) memberinya
tugas untuk membajak sawahnya yang ada di perbatasan. Sebagai tanda pengikat
Baridin memperoleh Nasi tumpeng dan bekakak ayam, juga wang bayaran. Usai
sarapan pagi berangkatlah Baridin ke arah sawah milik Mang Bunawas. Di sebuah
desa di kota Brebes Keluarga Bapak Dam (H. Damuri) yang kaya raya, sombong,
angkuh dan pelit, hidup bersama anak gadis semata wayangnya yang bernama
Suratminah (dipanggil Ratminah). Bapak Dam, pagi itu melepas Ratminah pergi ke
pasar untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidupnya. Bapak Dam, sepeninggal
anaknya berkelakar dengan tetangganya dengan kebiasaan memamerkan kekayaannya,
namun giliran menugaskan apa saja selalu saja ia sungkan memberi uang jasa,
tanda terimakasih. Begitu juga disaat tukang ramal lewat dan meramal Bapak Dam,
Bapak Dam pun tak mau membayar jasa ramalannya, karena dalam ramlannya ia akan
jatuh melarat dan anak satu-satunya Suratminah diramalkan akan menjadi gila.
Bapak Dam pun mengusir peramal itu sembari mengumpat. Di jalan sebelum masuk
area pasar Brebes, Ratminah digoda beberapa pemuda brandalan yang memuji
kecantikannya dengan harapan disambut baik, Tapi Suratminah malah menghardik
mereka. Dengan keangkuhan dan kepercayaan diri sebagai wanita anak orang
terkaya di kota nya. Ratminah berhasil melawan gangguan usil anak-anak
berandalan itu. Namun niatnya berbelanja justru tertunda. Hingga siang hari ia
dikesalakan terus menerus meladeni kekurangajaran para brandalan dan ditambah
lagi dengan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan sembari memanggul
weluku. Kehadiran Baridin yang berlagak menanyakan arah menuju Sawah Mang
Bunawas, membuat kesal para berandalan yang sedang asik mengganggu Ratminah
sembari berpantun. Baridin rupanya tak puas dengan bertanya pada anak-anak
pemuda brandalan, ia juga bertanya sembari berusaha mengenalkan diri pada gadis
cantik yang membuatnya terpana dan ingin berkenalan. Pertemuannya dengan
Suratminah menimbulkan gejolak asmaranya ia jatuh cinta. Dan Baridin pun
berusaha merayu dengan tembang dan sanjungan. Namun suratminah dengan seenaknya
membolak-balikkan perkataan baridin sembari mengejeknya, karena Baridin seolah
tidak bercermin kalau dirinya seorang pemuda miskin, dengan pakaian compang
camping dan celana rombeng dan bau tubuh pengak keringat seorang petani.
Gara-gara pertemuannya dengan pemuda brandalan dan kesalnya terhadap Baridin,
Ratminahpun akhirnya gagal berbelanja. Ia menjadi kesal dan pulang. Begitu juga
Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun dan Baridin pun pulang kembali ke
rumah. Ibunya kaget melihat kedatangan Baridin. Selain masih siang,
persoalannya juga karena uang bayarannya sudah diterima dan nasi tumpengnya
sudah habis dimakan sementara Weluku milik Baridin masih kering. Baridin hanya
terdiam, ia malah asyik melamun. Membayangkan pertemuannya dengan Suratminah
saat berkenalan di jalan Pasar kota Brebes. Ia lupa dengan yang ditanyakan
ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan kenapa Baridin gagal menggarap
sawahnya. Baridin dengan santai saja menjawabnya. “Kalau sabar ya besok
dikerjakan,” jawabnya. Mang Bun akhirnya meminta agar uang dan nasi tumpengnya
dikembalikan. Baridin dengan santai pula meminta agar ibunya mengembalikan.
Ibunya gelisah bagaimana mengembalikannya, nasinya sudah habis dimakan Uang
sudah dibelanjakan. Baridin pun dengan santai pula menjawab ; “kalau tak ada ya
gunakan sarungnya saja sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung
Baridin sebagai jaminan meski sarungnya apek dan sudah buluk (lapuk).
Sepeninggal Mang Bunawas, Mbok wangsih merasa malu atas ulah anaknya yang cepat
sekali berubah. Namun ia agak girang juga manakala Baridin berterus terang
bahwa dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita dan ia menginginkan gadis
pujaannya itu menjadi istrinya. Bayangan Mbok wangsih, ia bakal bisa menimang
cucu dan rumahnya semakin ramai dengan suara menantu dan cucunya kelak. Namun
mbok Wangsih kaget bukan kepalang manakala tahu perempuan yang menimbulkan
anaknya terpincut itu seorang gadis kaum berada dan anak orang terkaya di Brebes
pula. Saking cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih pun tak kuasa
menolak permintaan anaknya untuk melamar Suratminah binti Bapak Dam di kota
Brebes. Berbekal pisang hasil imbuhannya dari pohon pisang di samping rumahnya.
Mbok wangsih berangkat menuju kota Brebes dengan petunjuk arah dari Baridin
putra terkasihnya. Di rumah Bapak H. Damiri (Bapak Dam) di kota Berbes. Pak
Haji bingung dengan kepulangan anak perempuannya dengan wajah cemberut tanpa
hasil belanjaan dan memulangkan kembali uang pemberiannya. Saat ditanya
berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab.
Apalgi jika mengenang nama Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan
hasrat rasa hatinya itu kepadanya. Ratminah merasa pusing dan menyimpan kesan tersendiri
dengan pemuda bernama Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus
tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak orang kaya. Sampai
kemudian Datang secara bergantian para pelamar yang disambut dengan keceriaan
Bapak Dam. Maklum ia sudah merindukan anak perempuannya menikah. Sayangnya
setiap kali datang pelamar setiap kali itu juga Ratminah menolaknya. Bahkan
sampai pada kegelian dimana semua pelamar yang di tolak berkumpul, diantaranya
Dalang tarling, Saudagar, Juragan, dan sopir. Mereka secara bersama-sama
menyerang dengan ejekan dan hujatan pada Ratminah dan bapaknya. Dasar orang
kaya yang berkuasa. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir semua lelaki
yang gagal melamar anaknya itu. Akan tetapi baru saja mereka hendak masuk ke
ruang tengah, terdengar rumah diketuk oleh seorang wanita sembari
terheran-heran dengan kemewahan rumah bapak Dam. Bangunan, taman Sangkar
perkutut dan Bopi anjing milik Bapak Dam, Suratminah mengira perempuan itu
adalah pengemis yang datang. Suratminahpun membuka pintu dan langsung memberi
sedekah. Tapi ditolak oleh perempuan yang datang. Perempuan yang bernama Mbok
Wangsih itu malah tertegun dengan kecantikan Suratminah. Pantaslah jika Baridin
anak semata wayangnya terpesona dan ingin sekali meminang untuk dijadikan
istrinya. Akhirnya Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan yang
datang itu punya tujuan pribadi, bukan hendak mengemis. Bapak Dam jadi
bertambah kesal dengan laporan Suratminah. Baru saja ia dikesalkan dengan ulah
arogan para pelamar yang ditolak anaknya, eh datang lagi perempuan aneh.
Semakin bertambah kesal dan jengkel pula bapak Dam manakala Mbok Wangsih dengan
jujur mengutarakan hasratnya untuk melamar Suratminah untuk putra yang
dicintainya Baridin.
Mendengar apa yang dimaksud Mbok
Wangsih, Bapak Dam dengan serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok
Wangsih. Dengan hanya membawa pisang setundun, hendak melamar anaknya. Selain
tertawa, bapak Dam, pun dengan keras menolak dan mengumpat atas kelancangan
Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih memaksa minta agar lamaranya diterima, demi
anak kesayangannya Baridin. Mbok Wangsih pun meminta agar Surtaminah menjawab
permohonannya. Jika Bapak Dam sebelumnya telah menolak dan menghina dirinya
Mbok Wangsih masih maklum. Namun setelah mendengar jawaban Suratminah yang
menolak lamaran bahkan dengan keras ia menendangnya, serta meludahi mukanya
sembari melemparkan pisang bawaan ke tubuhnya. Mbok wangsih menjadi sakit hati
dan perasaannya terkoyak. Ia menyalahkan Baridin yang tidak mau bercermin
terebih dahulu sebelum menentukan keinginannya. Dengan tubuh lunglai dan hati
yang robek Mbok Wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. Dengan pikiran kesal dan
penuh kemarahan pada Baridin. Di rumah gubug bambu beratap rumbia, Baridin
menatap langit bercahaya rembulan dengan keindahan semburat merah yang memancar
bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepalanya. Sedang asyik melamun
hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya Suratminah berkat
usah Ibunya yang kini tengah berangkat seharian melamar dan belum pulang.
Baridin dikejutkan dengan kedatangan Ibunya yang kembali dengan wajah sedih dan
buntelan pisang yang masih utuh. Baridin pun bertanya, barangkali saja ibunya
kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang
dikiranya justru terbalik. Ibunya ternyata gagal dalam upaya melamar Suratminah
menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya. Ungkapan
marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia
mengakui kemiskinan yang menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan
Suratminah yang tak dsangka berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru
yang membuat Baridin menjadi ikut sakit dan mendadak sontak ia rubah cintanya
menjadi benci, kemarahan dan dendam yang tak tertahankan. Ditambah lagi
manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol
Baridin. Mbok Wangsih dengan kemarahan yang meluap dengan tega malam itu
mengusir Baridin dari rumah. Mbok Wangsih merasa malu dengan sikap anaknya yang
tak mempertimbangkan kondisi kemiskinan dan kemelaratan yang melanda
keluarganya. Baridin, sembari menahan tangis dan batin yang tersayat, terus
berjalan di kegelapan malam. Ia meninggalkan ibu dan rumahnya. Baridin berjalan
sampai jauh ke arah Kulon, sembari mengumbar dendamnya. Sampai kemudian ia
bertemu dengan sahabat karibnya. Sahabat Karib Baridin bernama Gemblung
Binulung (Meski punya wajah seperti orang gemblung tapi suka
menulung/menolong). Gemblung ikut prihatin atas nasib sahabatnya Baridin.
Kembali ia berniat menolong meredakan api cinta Baridin pada Suratminah.
Baridin hampir tidak percaya jikalau Gemblung sahabatnya yang berwajah bloon
itu dapat memberikan pertolongan pada nasibnya yang sial. Tapi setelah gemblung
mengatakan memiliki ajian peninggalan mendiang bapaknya, dan Baridin membaca
sebuah rapalan dari kertas tua dengan judul Ajian Kemat Jaran Guyang, ia pun
percaya. Atas nasehat sahabatnya itu Baridinpun pun kemudian ditugasi mandi
keramas, lalu melakukan niat berpuasa pati geni selam 40 hari empat puluh malam
dengan membaca niat di malam kelahirannya berkisar pukul 12 malam. Malam itu
dalam keremangan, suasana yang sunyi. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran
Guyang. Alam tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan
yang lemah merambah ke mana-mana. Orang yang terasa terbangun dari tidurnya. Ia
yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bhakan kerap berlaku
angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur. Di rumah Bapak Dam, menjelang jam
satu. Ia dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan
dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya pada hitungan miskin.
Begitu juga saat dibalik tetap saja jatuhnya di hitungan miskin. Begitu juga
disaat Tukang Tongprek/ronda lewat tengah malam yang merasa aneh. Pagi hari
kekesalan terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang
malas-malasan dan sedikit-sedikit tertawa dan cengengesan sendiri sambil
mengucap dan menyebut-nyebut Kang Baridin. Dan Bapak Dam tak mengerti siapa itu
Baridin. Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat menyuruhi Ratminah merebus
air, setelah ditunggu lama ia muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia
malah diam sendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut kata Kang Baridin secara berulang-ulang.
Bapak Dam tambah bingung manakala anaknya berdandan dengan pakaian yang jelek
dengan rambut diuraikan tak teratur dan keluar rumah sembari bertanya pada
tetangga tetangganya dimana Kang Baridin. Ratminah terus berjalan dan semakin
jauh meninggalkan rumah dan bapaknya. Ia berjalan, berlari seperti kuda yang
tak kenal lelah. Ia berlari sembari berteriak-teriak menyebut Kang Baridin.
Ratminah lupa makan dan minum. Ia terus meneriakkan keinginannya bertemu kang
Baridin Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia selalu memuja
Baridin dan berjalan sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan
anak-anak karena dia memang layak disebut Wong Edan. Bapak Dam pun seketika
jatuh miskin. Uangnya dihambur-hamburkan untuk memberi upah pada tetangga dan
orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah dan siap mencari
Suratminah. Namun ga ada yang berhasil. Di Desa Jagapura Baridin tengah bekerja
membajak sawah sembari menggerakkan Kerbaunya, Baridin bernyanyi mengenang hati
sanubarinya yang perih dan merana. Ia masih juga puasa dan belum mau berbuka,
sebelum melihat dengan kepala sendiri hasil ajian yang dilakoni atas petunjuk
sahabatnya gemblung Binulung. Sampai pada suatu hari Suratminah datang. Di
pinggiran sawah yang tengah digarap Baridin wanita itu menangis. Wajahnya yang
cantik terbaur dengan debu jalanan. Bajunya compang camping penuh debu dan bau
lumpur akibat perjalanan jauh. Suaranya kian serak memanggil manggil berjuta
kali, nama Kang Baridin. Ia menangis di kaki Baridin, sembari meminta maaf.
Namun Baridin dengan tegar, hanya terdiam. Belum mengeluarkan kata maaf, karena
Baridin malah mbongganaken (menyalahkan) sikap buruk dan kesombongan Suratminah
dan Bapaknya yang menghina Ibu yang dicintainya; Mbok Wangsih. Ratminah akhirnya
tak kuat lagi menahan cinta dan kasihnya. Ia peluk Baridin dengan kekuatan yang
trsisa, saat itu juga Ratminah merobohkan tubuhnya yang lemas, ia meninggal
dunia. Baridin tersentak. Ia dan penduduk setempat kemudian mengebumikan
jenajahnya di Pekuburan Desa Jagapura. Sore harinya menjelangmagrib usai
tahlillan almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh tak kuat dengan
kondisi tubuhnya yang lemah. Niatnya hendak berbuka puasa selepas magrib pun
gagal. Ia pun meninggal dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis
tahlil. Esok harinya masyarakat Desa Panguragan menguburkan jenajah Baridin di
samping kuburan Suratminah. Mereka menjadi pasangan cinta yang Agung di alam
kubur. Sedang kedua orang tua dan sahabat-sahabat yang dicintainya hanya bisa tertunduk
haru di makam kedua pasangan yang gagal menyatu menjadi pasangan cinta didunia,
akibat dari perbedaan status ekonomi yang berbeda. Tangisan dan airmata
berjatuhan dimana-mana. Kenapa kemiskinan selalu saja menjadi sumber petaka
atas kehidupan manusia di dunia.......??? Semoga Allah mengampuni segala
dosa-dosanya...Amin.
Dan bagi pengen denger ceritanya langsung download aja di bawah ini
Ok...selamat menikmati cerita baridin yang begitu fenomenal di kalangan masyarkat cirebon
1 komentar:
nice post, Thank you.
Post a Comment